Sebagus apapun undang-undang yang disahkan, jika perspektif masyarakat terutama aparatnya belum berubah, maka akan sulit dilaksanakan. Untuk itu, pemahaman terkait Perspektif Gender dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) masyarakat pada umumnya, harus diubah.
Demikian penilaian Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh, saat menjadi narasumber di salah satu televisi swasta yang dikutip Parlementaria, Sabtu (5/2/2022). Ninik, sapaan akrab Nihayatul, mencontohkan soal perkawinan di bawah umur.
Di UU Perkawinan, masyarakat yang masih di bawah umur atau di bawah usia 19 tahun jika ingin menikah harus mendapatkan dispensasi terlebih dahulu dari pengadilan. “Tapi, di daerah, dispensasi kawin ini sangat mudah didapatkan karena tergantung perspektif aparat yang memberikan hal tersebut,” ujar Ninik.
Pun halnya dengan RUU TPKS yang sudah disahkan menjadi inisiatif DPR RI pada rapat paripurna beberapa waktu lalu. Anggota Fraksi PKB DPR RI ini mengapresiasi pernyataan Presiden Jokowi yang meminta agar segera percepat pembahasan RUU TPKS tersebut. Namun, lagi-lagi, tambahnya, segenap pihak harus senantiasa memiliki semangat perjuangan yang sama termasuk terkait perspektif korban tersebut.
“Perjuangan ini sebenarnya bukan hanya satu pihak saja, bukan hanya pemerintah dan DPR saja. Tapi juga pihak lain seperti media bagaimana memberikan kontribusi framing masyarakat terhadap kondisi seseorang. Jadi yang terpenting memberikan kesadaran juga ke masyarakat selain negara memberikan landasan hukumnya,” jelas pengusul RUU TPKS sejak periode DPR RI 2019-2024 silam.
Diketahui, baru-baru ini, terdapat ceramah salah satu pemuka agama di media sosial yang diduga toleran terhadap tindakan KDRT. Pemuka agama tersebut memberikan ilustrasi suami yang memukul istrinya yang lalu menutup aib tersebut di hadapan orang tuanya saat datang ke rumahnya. Publik pun bereaksi terhadap ceramah tersebut yang dinilai memberikan pembenaran atas tindakan KDRT sehingga menjadi lazim dilakukan. *