Oleh:
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka
…
PONDASI perekonomian nasional kembali menguat ketika daya rusak pandemi COVID-19 mulai melemah. Konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor sebagai motor penggerak ekonomi mulai menunjukan pertumbuhan yang solid sepanjang kuartal pertama 2022. Penguatan itu terwujud berkat peran semua elemen masyarakat menjaga kondusifitas pada semua aspek kehidupan.
Proses awal dari pemulihan ekonomi nasional yang tergambar sepanjang kuartal-I 2022 itu patut menjadi faktor yang memperkuat optimisme masyarakat. Sebab, setahun lalu, atau pada kuartal-I 2021, perekonomian nasional masih mengalami kontraksi 0,74 persen.
Seperti juga pengalaman banyak negara lain, tekanan pada aspek perekonomian disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Karena faktor pandemi, semua mesin perekonomian nyaris bekerja jauh di bawah kapasitas, yang pada gilirannya menyebabkan perekonomian global, termasuk Indonesia, masuk zona resesi. Tekanan yang luar biasa berat terjadi pada 2020 akibat meluasnya penularan virus Corona varian Delta. Tekanan berlanjut di tahun 2021 karena kegagalan mencegah penularan varian Omicron.
Tekanan teramat berat selama 2020-2021 itu nyatanya tidak menimbulkan gejolak sosial yang diakibatkan oleh faktor ekonomi. Kendati kehidupan bersama benar-benar tidak nyaman dan muncul kesulitan pada beberapa aspek, masyarakat masih mampu bertahan dan bersabar menghadapi semua ekses pandemi. Pemerintah merespons ragam kesulitan yang dihadapi masyarakat dengan sejumlah program jaring pengaman sosial.
Maka, proses pemulihan sekarang ini memberi gambaran kepada semua pihak bahwa perekonomian nasional dikelola dengan bijaksana dan penuh dengan kehati-hatian. Pandemi dengan segala eksesnya tidak membuat pemerintah dan masyarakat panik. Kebutuhan pokok masyarakat tetap terpenuhi.
Bahkan, apresiasi setinggi-tingginya layak diberikan kepada komunitas petani tanaman pangan. Berkat pengabdian mereka, aspek ketahanan pangan Indonesia tetap terjaga dengan baik sepanjang durasi pendemi Covid-19. Sebagaimana dilaporkan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso, Indonesia tidak impor beras dalam empat tahun terakhir berkat meningkatnya produksi beras di dalam negeri .
Sayangnya, upaya menjaga stabilitas perekonomian nasional di tengah pandemi itu dirongrong oleh ulah segelintir orang yang memanipulasi peruntukan atau alokasi minyak goreng produksi dalam negeri. Perilaku tak terpuji itu menyebabkan terjadinya kelangkaan dan lonjakan harga sejak awal 2022 hingga bulan April lalu.
Beruntung bahwa kasus kelangkaan minyak goreng itu tidak mereduksi proses pemulihan. Kendati masyarakat sangat kecewa dengan kasus itu, kekecewaan itu tidak menekan proses penguatan konsumsi rumah tangga.
Sebagaimana dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (9/5) lalu, perekonomian Indonesia tumbuh 5,01 pada kuartal I-2022. Produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 4.513 triliun dan berdasarkan harga konstan mencapai Rp 2.819 triliun.
Sangat menggembirakan karena BPS juga menggambarkan bahwa struktur pergerakan mesin-mesin pertumbuhan sudah kembali ke level sebelum pandemi Covid-19. Konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor menunjukan pertumbuhan yang solid. Industri pengolahan menjadi penggerak utama pertumbuhan dengan porsi 65,74 persen, karena mencatatkan pertumbuhan 5,71 persen
Selain itu, pemulihan bertahap pada aktivitas masyarakat menjadi faktor pendorong menguatnya konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,34 persen. Masih menurut BPS, Kinerja ekspor pada kuartal I-2022 meningkat. Nilai ekspor hingga Maret 2022 mencapai 66,14 miliar dolar AS. Sedangkan pertumbuhan investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh 4,06 persen.
Pertumbuhan pada kuartal -1 2022 ini bahkan mampu menyerap 4,55 juta tenaga kerja. Kecenderungan positif itu menjadi pertanda bahwa pondasi perekonomian nasional sudah kembali ke jalur proses pemulihan saat daya rusak pandemi COVID-19 mulai melemah. Namun, dinamika global mengingatkan Indonesia untuk selalu waspada.
Proses pemulihan sekarang ini ternyata harus berhadapan dengan tantangan riel. Tantangan bersamanya adalah menjaga dan merawat momentum pertumbuhan ekonomi sekarang ini agar dapat berlangsung konstan. Semua elemen masyarakat hendaknya aktif berkontribusi mewujudkan kondusifitas pada semua aspek kehidupan. Dengan iklim perekonomian yang kondusif, investasi akan terus bertumbuh dan menciptakan lapangan kerja baru.
Memang, menjaga momentum pertumbuhan sekarang ini menjadi tidak mudah karena adanya ketidakpastian global akibat invasi Rusia ke Ukraina. Salah satu dampak langsung dari invasi militer rusia itu adalah naiknya harga energi. Hari-hari ini, komunitas global harus menerima fakta tentang tingginya harga energi. Di dalam negeri, masyarakat kebanyakan juga sudah merasakan dampak itu dalam wujud naiknya harga bahan bakar minyak (BBM).
Lonjakan harga energi menjadi persoalan sangat serius bagi banyak negara di Eropa. Rusia memanfaatkan cadangan minyaknya untuk memperkuat daya tawar atas sanksi yang diberlakukan sejumlah negara Eropa penentang invasi ke Ukraina. Tingginya harga energi memberi dampak signifikan pada proses pemulihan ekonomi Eropa.
Sebagaimana dipahami bersama, naiknya harga energi sekarang ini pun sudah pasti memberi dampak kepada sektor industri dalam negeri. Lazimnya, harga energi yang naik akan mendongkrak biaya produksi. Konsekuensinya, harga ragam produk kebutuhan masyarakat akan naik. Masyarakat sebagai konsumen kembali dibuat tidak nyaman. Dan, kenaikan harga produk pasti berdampak pada laju inflasi.
Inilah tantangan riel yang harus dihadapi Indonesia ketika pondasi perekonomian nasional mulai menjalani proses pemulihan. Tentu saja semua pihak berharap kenaikan harga energi sekarang ini tidak mengeliminasi momentum pertumbuhan terkini. Pemerintah pun diharapkan tetap bijak dan lebih berhati-hati. *