Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto menjadi narasumber Kuliah Umum di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”, Yogyakarta, pada Jumat (27/5/2022) lalu. Aswanto menyajikan materi “Memahami Kedudukan Konstitusi dalam Bernegara”.
“Salah satu kegiatan kami, bagaimana memberikan penyadaran kepada seluruh masyarakat Indonesia tentang bagaimana berkonstitusi. Tetapi kami tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau seluruh pelosok Indonesia. Oleh sebab itu, mudah-mudahan momentum ini perlu ditindaklanjuti untuk dilakukan kerja sama agar perjuangan kita untuk memberikan penyadaran kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk berkonstitusi bisa lebih masif,” kata Aswanto.
Di sisi lain, Aswanto merasa bersyukur bahwa program Desa Konstitusi yang dilaksanakan MK di sejumlah daerah Indonesia mendapat perhatian dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian-kementerian tesebut ingin bergabung dengan program Desa Konstitusi yang dijalankan MK.
Pengertian Konstitusi
Di awal paparan, Aswanto mengatakan bahwa Konstitusi adalah kumpulan-kumpulan norma yang mengatur mengenai kewenangan dan lembaga yang akan menjalankan kewenangan itu dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dalam sebuah bangsa.
“Kalau membaca literaturnya, konstitusi terbagi menjadi konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Hampir semua negara menggunakan Konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada, sehingga dasar mereka dalam menjalankan tugas dan kewenangan adalah hukum-hukum adat yang ada di sana beserta dokumen-dokumen yang tidak masuk dalam Konstitusi,” urai Aswanto.
Bagaimana dengan di Indonesia? Ada tiga konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia dalam empat periode. Pertama adalah UUD 1945 pada periode pertama yaitu 18 Agustus 1945. Dalam perjalanannya, dengan dilakukan evaluasi-evaluasi, banyak hal yang belum ter-cover dalam UUD 1945 kala itu termasuk minimnya jaminan hak asasi manusia.
Itulah sebabnya Konstitusi Indonesia kemudian diganti dengan Konstitusi RIS 1949, meski setelah berjalan, masih banyak persoalan. Di antaranya mengenai tujuan negara dan bagaimana mewujudkan tujuan negara, siapa yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan negara. Maka dibentuklah lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif yang bertugas untuk mewujudkan tujuan negara.
“Selanjutnya, Konstitusi RIS diganti dengan dengan UUD Sementara Tahun 1950. Banyak hal yang diperdebatkan oleh the founding fathers Indonesia. Keinginan bangsa kita adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Itulah sebabnya, kemerdekaan adalah jembatan emas. Kemerdekaan bukan tujuan, kemerdekaan adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Harus ada rambu-rambu yang digunakan untuk mewujudkan hal itu. Rambu-rambu itulah yang kemudian diatur, dinormakan dalam Konstitusi. Sehingga hakikat Konstitusi adalah rambu-rambu untuk bernegara, aturan untuk bernegara,” jelas Aswanto.
Setelah itu pada 5 Juli 1959 tercetus Dekrit Presiden, menggantikan UUD Sementara Tahun 1950 untuk kembali menggunakan UUD 1945. Salah satu yang menjadi perdebatan sangat sengit pada UUD Sementara Tahun 1950 adalah soal hak asasi manusia. Jaminan terhadap hak asasi manusia, terutama jaminan terhadap hak-hak kaum perempuan belum maksimal pada UUD Sementara Tahun 1950. Alhasil Presiden Soekarno memutuskan untuk kembali ke UUD 1945.
Amendemen UUD 1945
Sekian tahun berjalan, perdebatan mengenai konstitusi Indonesia belum juga selesai, hingga kemudian dilakukan amendemen UUD 1945 sejak 1999-2002. Saat amendemen UUD 1945 terlontar untuk membentuk lembaga negara baru yakni Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang diubah lagi menjadi UU No. 8 Tahun 2011, lalu diubah lagi menjadi UU No. 7 Tahun 2020.
“Mahkamah Konstitusi memiliki peran dan fungsi sebagai penjaga konstitusi, penjaga ideologi Pancasila, penjaga demokrasi, penjaga hak asasi manusia, bahkan sebagai penafsir terakhir konstitusi. Fungsi-fungsi inilah yang diimplementasikan dalam UUD dan memberikan sejumlah kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi,” ujar Aswanto.
Oleh sebab itu, lanjut Aswanto, dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan utama untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Kemudian Mahkamah Konstitusi berwenang memutus sengketa antara lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu presiden dan pemilu legislatif, serta wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan tambahan untuk memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah hingga terbentuk peradilan khusus untuk menangani sengketa hasil pemilihan kepala daerah. *