Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ichsan Yunus mengatakan, Rancangan Undang-Undang Provinsi yang sedang dibahas di Komisi II DPR RI adalah untuk memperkuat status hukum suatu daerah baik itu provinsi maupun kabupaten/kota. Sebagaimana diketahui alas hukum 20 provinsi dan 239 kabupaten/kota di Indonesia masih berlandaskan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 atau UU Republik Indonesia Serikat (UU RIS).
Ichsan menyampaikan hal ini kepada Parlementaria di sela-sela pertemuan Tim Kunker panja Komisi II DPR RI di Padang, Sumatera Barat, Kamis (16/6/2022). Dalam pertemuan tersebut, Komisi II menyerap aspirasi yang disampaikan langsung oleh Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi, Gubernur Riau Syamsuar, dan Gubernur Jambi Al Haris.
“Karena UU Provinsi yang lama itu masih dalam turunan UU RIS. Maka inti, dari dibentuknya UU ini adalah demi ketertiban administrasi hukum. UU yang baru ini akan mempermudah semua daerah apabila ada permasalahan hukum baik nasional maupun internasional,” tutur politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu.
Ichsan menegaskan, Komisi II sudah menyepakati tidak akan banyak perubahan substansi dalam RUU Provinsi ini. “Jadi masalah tapal batas kita serahkan kembali kepada pihak-pihak yang mempunyai kewenangan. Misal, tapal batas ke kemendagri, kemudian masalah konten lokal dan kearifan lokal kita juga belum membahas itu sampai sekarang. Dana bagi hasil baik itu dari segala sisi yang berkaitan dengan daerah, kemudian politik sosial budaya, pertahanan dan keamanan itu belum kita bahas,” tuturnya.
Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Sumbar Mahyeldi menyambut baik adanya pembahasan Rancangan Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Provinsi Sumbar. Diharapkan UU tersebut akan menjadi dasar hukum pembangunan di Provinsi Sumbar dengan mempehatikan potensi budaya-budaya dan niai-nilai yang sudah hidup di masyarakat Sumbar.
Rangkaian rencana pergantian Undang-Undang tentang pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Sumbar, Jambi dan Riau menurut Mahyeldi, diperlukan dukungan penuh karena dikaitkan dengan pengaturan tentang Provinsi Sumbar yang sudah tidak relevan lagi, selain tidak sesuai dengan politik hukum otonomi daerah pasca UUD Tahun 1945 serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah beserta perubahannya.
“Selain itu juga pengaruh perubahan dinamika sosial yang menuntut Provinsi Sumbar, Jambi dan Riau untuk bergerak lebih cepat untuk pembangunan daerah serta memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat sekaligus menjaga dan merawat nilai-nilai dari masing-masing daerah,” pungkas Mahyeldi.*