Aturan mengenai surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) menekankan hak bagi terdakwa untuk didakwa dengan surat dakwaan yang memenuhi syarat formal dan material. Hal ini disampaikan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Feri Wibisono yang menyampaikan keterangan Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku Pihak Terkait dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sidang keempat Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022 tersebut digelar di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (16/6/2022). Perkara tersebut dimohonkan oleh perseorangan warga negara atas nama Umar Husni selaku Direktur PT Karya Jaya Satria.
“Juga pelimpahan kembali suatu surat dakwaan yang telah diperbaiki, dilakukan dalam menjaga hak‑hak terdakwa sesuai ketentuan Pasal 50 ayat (2) KUHAP, yang pada pokoknya mengatur bahwa tersangka berhak perkaranya segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. Serta Pasal 50 ayat (3) KUHAP yang mengatur bahwa terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan,” jelas Feri di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua Aswanto tersebut.
Pemohon mendalilkan bahwa KUHAP menentukan terhadap surat dakwaan yang batal demi hukum, jaksa berwenang untuk mengajukan 1 kali ke pemeriksaan ke sidang pengadilan dengan mengganti surat dakwaan yang lama dan mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki, sehingga memenuhi syarat surat dakwaan berdasarkan Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Feri menyampaikan dalil tersebut merupakan dalil tidak cermat dan tidak berdasar hukum karena limitasi atau batasan kuantitas pengajuan perbaikan dakwaan oleh penuntut umum sebanyak satu kali tersebut hanya berkaitan dengan dakwaan yang belum diajukan pada persidangan, sesuai ketentuan Pasal 144 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, yakni penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang.
“Perubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat‑lambatnya 7 hari sebelum sidang dimulai sehingga hal tersebut hanya menyangkut perubahan surat dakwaan,” ujar Feri.
Menanggapi hal tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo mempertanyakan mengenai jawaban Kejaksaan Agung terkait permohonan Pemohon agar ditentukan jumlah pengajuan surat dakwaan dalam pasal a quo. Hal tersebut karena dalam kasus konkret, Pemohon mendapatkan sebanyak tiga surat dakwaan, yakni satu putusan dari Pengadilan Negeri Purwokerto dan dua putusan dari Pengadilan Tinggi Semarang. Menurut Suhartoyo, dalam perspektif terdakwa ada hak‑hak konstitusional yang terlanggar dengan pengajuan surat dakwaan yang berulang.
“Tapi kalau kemudian kepentingan orang yang kemudian didakwa secara berulang‑ulang, meskipun tadi disampaikan bahwa yang kedua dan yang ketiga tidak dilakukan penahanan, yang sangat mendasar adalah tetap orang itu terbelenggu dengan status masih sebagai tersangka atau terdakwa itu,” terang Suhartoyo.
Menjawab pertanyaan tersebut, Feri meminta agar Kejagung diberikan waktu menyusun jawaban tertulis kepada Majelis Hakim. Namun ia menyatakan bahwa persoalan yang dialami Pemohon adalah kasuistik dan jarang terjadi adanya terdakwa yang mengalami surat dakwaan berulang.
“Jadi, akibat daripada adanya pertimbangan dalam putusan masing‑masing pada tahap penuntutan pertama dan kedua yang pertimbangannya berbeda‑beda, sementara dalam kasus‑kasus yang lain itu jarang sekali yang sampai dua hingga tiga kali. Biasanya setelah kita perbaiki, kemudian dapat diproses untuk memeriksa pokok perkara. Sedangkan dalam perkara ini, bahkan belum memeriksa pokok perkara untuk menentukan kebersalahan atau tidak si Pemohon itu belum dilaksanakan, sementara kerugian yang timbul akibat daripada perbuatan pidana berdasarkan hasil penyidikan itu sudah nyata dan harus ada jalan keluarnya,” tandas Feri.
Gugatan Perdata
Berikutnya Feri juga menyampaikan keterangan Kejagung sehubungan dengan dalil Pemohon yang telah dirugikan oleh perbuatan penuntut umum dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak hukum. Terkait hal ini, Feri mengemukakan, Pemohon dapat menempuh mekanisme yang diberikan undang-undang dengan mengajukan gugatan perdata kepada kejaksaan, sebagaimana disebutkan pada 1365 KUH Perdata juncto 163 HIR.
Berikutnya Feri juga meminta agar Pemohon membedakan kontekstual dari pengujian konstitusionalitas norma undang-undang dengan persoalan yang timbul sebagai akibat dari penerapan suatu norma undang-undang. Sebab hal demikian pada sejumlah negara dimasukkan dalam ruang lingkup gugatan perdata atau pengaduan konstitusional (constitutional complaint). Maka berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, secara tegas menyatakan MK berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara norma undang undang yang bertentangan dengan konstitusi (constitutional review). Sementara terhadap constitutional complaint, UUD 1945 tidak mengatur hal tersebut.
“Oleh karena permohonan Pemohon pada pokoknya menyatakan tidak dilakukannya suatu perbuatan pejabat publik, yaitu jaksa penuntut umum, tidak melakukan perbaikan dakwaan, dan tidak melakukan kembali tuntutannya terhadap beberapa orang yang dinyatakan oleh terdakwa, salah satunya adalah Pemohon, maka Kejaksaan Republik Indonesia selaku Pihak Terkait memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, dan mengadili agar menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tersebut tidak dapat diterima,” sebut Feri.
Sebelumnya, Pemohon menyatakan Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 143 ayat 3 (KUHAP) berbunyi, “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Berdasarkan dalil yang disebutkan di atas, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik dengan pembatasan perbaikan hanya 1 (satu) kali”.*