Oleh:
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Fakuktas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka
PENGAKUAN regulator negara tentang kekalahan dari mafia minyak goreng sudah direspons oleh Presiden Joko Widodo melalui penerapan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng. BLT jadi pilihan solutif agar rakyat tidak terus didera kesulitan. Kasus spekulasi minyak goreng oleh mafia pasar hendaknya dituntaskan melalui proses hukum agar tidak menjadi preseden di kemudian hari.
Penimbunan dan manipulasi stok minyak goreng menyebabkan berbulan-bulan kelangkaan di pasar, terhitung sejak awal tahun 2022. Kalau proses hukum atas kasus ini tidak berlanjut hanya karena Presiden sudah menerapkan kebijakan BLT, kasus ini akan dicatat dan dikenang publik sebagai fakta kekalahan regulator negara dari sepak terjang mafia yang mengacak-acak mekanisme pasar kebutuhan pokok masyarakat.
Patut digarisbawahi bahwa pembiaran atas kekalahan itu akan menjadi sangat fatal, karena berpotensi menjadi preseden. Kalau sejak awal 2022 mafia kebutuhan pokok masyarakat itu dibiarkan leluasa memporakporanda jalur distribusi minyak goreng, di kemudian hari, kelompok mafia yang sama akan melakukan tindakan serupa untuk komoditas lainnya.
Kecenderungan itu setidaknya sudah terlihat pada temuan kasus penimbunan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar. Pada Rabu (30/3), Kodim 0503 Jakarta Barat menggerebek tempat pembuangan akhir (TPA) di Kembangan Selatan, Kembangan, Jakarta Barat . TPA itu ternyata dijadikan tempat penimbunan belasan ton solar. Sebelumnya, polisi juga menggerebek lokasi penimbunan BBM bio solar subsidi di salah satu rumah warga di Jambi. Sebanyak 10 ton minyak bio solar disita.
Beberapa temuan kasus pidana penimbunan minyak goreng pun sudah terungkap. Para pelaku pidana penimbunan minyak goreng maupun BBM itu harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan hukum. Regulator negara harus berani bersikap dan bertindak tegas, sebelum persoalan serupa berulang dan tereskalasi.
Pidana penimbunan komoditas atau produk selalu merugikan masyarakat kebanyakan. Bukan hanya menyebabkan kelangkaan, tetapi pada gilirannya harga produk itu terdongkrak naik. Dan, kelangkaan produk dalam kelompok kebutuhan pokok masyarakat selalu menghadirkan kesulitan bagi jutaan keluarga.
Tak hanya masyarakat yang dirugikan. Negara pun dirugikan. Penimbunan oleh mafia komoditas menyebabkan tujuan alokasi anggaran subsidi minyak goreng dan BBM menjadi tidak tepat sasaran. Produk yang ditimbun itu dijual kepada pihak lain dengan harga lebih mahal, sehingga para mafia penimbun itu menikmati keuntungan berlipatganda.
Dalam kasus kelangkaan minyak goreng 2022, kerugian negara bahkan menjadi lebih besar, karena pemerintah pada akhirnya harus mengambil lagi dana dari kas negara untuk membiayai BLT minyak goreng. Tentu menjadi sulit diterima akal sehat karena negara dan rakyatnya dipaksa kalah dari ulah segelintir orang melakukan penimbunan dan manipulasi peruntukan stok minyak goreng.
Padahal, masyarakat disuguhi informasi bahwa ketersediaan minyak sawit sebagai bahan baku minyak goreng yang terkumpul dalam kebijakan domestic market obligation (DMO) sudah cukup besar. Bahkan, stok minyak goreng dilaporkan melebihi jumlah rata-rata kebutuhan nasional. Sejak awal Februari, pasar sudah diguyur lebih dari 100 juta liter dan terdistribusi ke semua tempat.
Nyatanya, langkah-langkah itu tidak juga menyelesaikan masalah. Muncul dugaan adanya gangguan pada aliran distrbusi. Di beberapa tempat, ditemukan adanya penimbunan. Namun, upaya memperlancar aliran distribusi tidak juga menyelesaikan masalah. Akhirnya, selepas pekan kedua Maret 2022, terungkap bahwa ada ulah mafia dibalik kelangkaan itu. Oleh mafia, sebagian besar alokasi minyak goreng untuk konsumen dalam negeri diselundupkan ke sektor industri hingga diekspor.
Mestinya tidak sulit-sulit amat untuk mengidentifikasi mereka yang menimbun dan memanipulasi peruntukan stok minyak goreng itu. Persoalannya bergantung pada keberanian dan sikap tulus regulator untuk menindak dan memberi sanksi tegas kepada semua pelaku. Bukankah ada kementerian, Polisi hingga intelijen ekonomi.
Namun, karena persoalannya terus diambangkan, Presiden terpaksa memilih pendekatan lain agar masyarakat tidak lagi didera kesulitan. Pada awal April 2022, Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa pemerintah memberikan BLT minyak goreng kepada 20,5 juta keluarga dan 2,5 juta pedagang yang berjualan makanan gorengan. Kebijakan pemberian BLT minyak goreng sangat jelas menjadi penanda kekalahan regulator dari ulah mafia pasar.
Pemberian BLT menjadi opsi yang dipilih presiden karena para pembantunya sebagai regulator tidak juga bisa menyelesaikan persoalan. Disebutkan bahwa ada mafia yang menimbun dan memanipulasi peruntukan minyak goreng, tetapi hingga sejauh ini tidak jelas siapa mereka dan seperti apa pendekatan hukum kepada mereka. Padahal, kasus ini harus direspons dengan sikap tegas agar tidak menjadi preseden.
Jika regulator kalah dari sepak terjang mafia kebutuhan pokok masyarakat, tentu saja kekalahan itu sangat fatal dan juga sangat berbahaya karena bisa menjadi preseden di kemudian hari. Dan, kalau spekulasi atas kebutuhan pokok menjadi preseden, dinamika perekonomian nasional nantinya akan lebih disibukan oleh kegiatan merespons sepak terjang para spekulan
Dengan bersikap dan memberi sanksi tegas kepada para spekulan, pesan yang ingin disampaikan menjadi sangat jelas; bahwa regulator negara tidak akan pernah menyerah atau kalah dari sepak terjang mafia yang coba bermain-main dengan komoditas kebutuhan masyarakat. Kalau ada unsur birokrat yang menjadi bagian aktif dari mafia itu, mestinya tidak ada keraguan sedikit pun untuk menindak. Sebab, sangat berbahaya bagi birokrasi negara jika ada unsur mafia di dalamnya. Mereka akan terus menggerogoti negara dan masyarakat dengan berbagai modus.
Regulator harus mau dan berani bersikap tegas. Salah satu tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) semua kementerian adalah regulator. Legalitas Tupoksi sebagai regulator negara itu dipayungi oleh undang-undang (UU) negara, peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (Perpres) serta kebijakan atau peraturan para menteri hingga peraturan daerah (Perda) dan peraturan gubernur (Pergub).
Semua orang paham bahwa UU hingga Perda mutlak dibutuhkan dan diberlakukan untuk mengatur dan menata kehidupan bersama demi terwujudnya ketertiban umum, sehingga setiap individu memperoleh kepastian, manfaat dan keadilan. Jika setiap unsur regulator dalam organisasi atau administrasi pemerintahan melaksanakan semua peraturan perundang-undangan itu dengan konsisten dan tanpa kompromi, ketertiban umum niscaya terwujud. Dan, mafia tidak akan pernah bisa mengalahkan regulator negara. *