Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Syarief Hasan mempertanyakan adanya investasi PT. Telkomsel di GOTO (Perusahaan merger Gojek dan Tokopedia) yang mencapai USD 370 juta atau setara Rp5 Triliun. Pasalnya, harga saham GOTO kini anjlok 50% lebih sejak IPO, hingga ke angka Rp194/lembar.
Anjloknya harga saham GOTO ini menunjukkan kemungkinan tidak adanya perhitungan yang matang atau risk management yang baik dalam investasi yang dilakukan PT. Telkomsel yang merupakan anak perusahaan BUMN Telkom. Harga saham GOTO turun hingga 26,9% dari harga pembelian yang dilakukan oleh PT. Telkomsel sebesar Rp265,5/lembar.
Syarief Hasan menilai, investasi yang dilakukan oleh PT. Telkomsel sangat merugikan dan karena termasuk uang rakyat, maka penegak hukum harus mendalami kasus besar ini.
“Telkomsel yang telah menyuntik GOTO hingga Rp5 Triliun adalah uang Rakyat,” ungkap Syarief, sebagaimana dilansir dari laman mpr.go.id, Rabu (18/05/2022).
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini mempertanyakan potensi konflik kepentingan dalam investasi tersebut. “Kita melihat juga adanya potensi konflik kepentingan di dalam persoalan ini. Bagaimana tidak, pemilik saham besar GOTO adalah lingkaran keluarga dari beberapa nama pejabat pemerintahan di negeri ini, sehingga banyak masyarakat yang bertanya-tanya,” ungkapnya lagi.
Ia juga mempertanyakan poin perjanjian kerjasama PT. Telkomsel dengan GOTO. “Tentu kita bertanya-tanya, apa yang menjadi aset dari GOTO ini sehingga PT. Telkomsel sangat berani berinvestasi triliunan rupiah? Harusnya ini semua dijelaskan secara terbuka dan transparan oleh PT. Telkomsel dan sebaiknya diaudit. Hasilnya disampaikan kepada rakyat,” beber Syarief.
Ia pun mengingatkan, posisi PT. Telkomsel sebagai anak perusahaan BUMN. “Perlu diingat bahwa PT. Telkomsel adalah anak perusahaan BUMN PT. Telkom. Perusahaan ini adalah milik negara sehingga merugikan perusahaan akibat kebijakan yang salah tentu masuk kategori merugikan negara,” Syarief menegaskan.
Politisi senior Partai Demokrat ini juga mengingatkan Menteri BUMN untuk melakukan evaluasi. “Menteri BUMN harus mengambil tanggungjawab untuk melakukan evaluasi dan harus menghindari konflik kepentingan. Kita tidak ingin mendengar BUMN rugi karena kebijakan keliru dan cenderung merugikan negara akibat adanya kepentingan pribadi,” tutup Syarief. *