Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sepakat mengubah postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 melalui penerbitan peraturan presiden (perpres).
Kesepakatan itu dihasilkan sebagai respons dinamika perekonomian dan kenaikan harga komoditas global. Perubahan postur APBN itu juga bertujuan untuk melindungi rakyat, ekonomi, sekaligus APBN.
Ketiga instrumen itu tak dipungkiri jadi urat nadi perjalanan bangsa ini ke depannya. Dalam konteks itu, seperti selalu dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, fungsi APBN adalah sebagai shock absorber.
Artinya, fungsi APBN memiliki peran untuk melindungi daya beli masyarakat, menjaga pemulihan ekonomi, dan menjaga fiskal tetap sehat dengan upaya konsolidasi pada 2023, yang merupakan tahun pertama defisit maksimal 3 persen PDB sejak merespons kondisi luar biasa pandemi.
Kesepakatan perubahan postur APBN itu, tutur Sri Mulyani, pada pendapatan negara 2022 yang ditetapkan sebesar Rp2.266,2 triliun atau naik Rp420,1 triliun, dari sebelumnya yang sebesar Rp1.846,1 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, peningkatan outlook pendapatan negara ini menunjukkan Indonesia lebih berdaya tahan daripada negara-negara lain. Saat negara lain menghadapi krisis, Indonesia malah bisa mendapat pendapatan lebih tinggi lebih dari Rp400 triliun.
“Dengan tambahan anggaran ini bisa kami gunakan untuk melindungi rakyat dan ekonomi. Sekaligus ini akan melindungi APBN. Karena tiga-tiganya adalah hal yang penting,” tutur Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama dengan Badan Anggaran DPR RI, Kamis (19/5/2022).
Perubahan postur anggaran dilakukan untuk mengakomodasi kenaikan belanja negara, terutama yang terkait dengan subsidi energi dan perlindungan sosial yang disulut kenaikan harga minyak. Kenaikan harga minyak memang menjadi katalis positif bagi penerimaan negara. Akan tetapi, kondisi ini juga membawa konsekuensi ikutan, yakni kenaikan kebutuhan belanja untuk subsidi energi dan perlindungan sosial.
Kedua pos belanja itu wajib dinaikkan untuk menjaga daya beli masyarakat, sehingga inflasi tetap dalam kendali. Apabila inflasi tidak mampu dijangkau pemerintah, maka otoritas moneter akan menaikkan suku bunga acuan. Tak dipungkiri, kenaikan suku bunga juga berpotensi mengerem laju momentum pemulihan ekonomi serta kesehatan berusaha.
Perubahan APBN 2022 ditandai dengan revisi asumsi dasar ekonomi makro serta prospek belanja sepanjang tahun ini. Pemerintah dan DPR sepakat menaikkan target inflasi dari 3 persen menjadi 2 persen—4 persen.
Selain perubahan pendapatan negara menjadi Rp2.266,2 triliun dari semula Rp1.846,1 triliun, belanja negara juga berubah menjadi Rp3.106,4 triliun dari semula Rp2.714,2 triliun. Dari komponen ini, kemudian didistribusikan untuk kepentingan belanja pemerintah pusat dari semula Rp1.44,5 menjadi Rp2.301,6 triliun.
Belanja itu, terdiri dari belanja kementerian/lembaga (K/L) Rp945,8 triliun menjadi Rp948,8 triliun. Berikutnya, belanja non-K/L dari semula Rp998,8 menjadi Rp1.352, 9 triliun.
Nah, komponen belanja non-K/L meliputi subsidi energi yang naik menjadi Rp208,9 triliun dari semula Rp134,0 triliun, kompensasi BBM dan listrik dari Rp18,5 triliun menjadi Rp293,5 triliun, penyesuaian anggaran pendidikan non-K/L sebesar Rp19 triliun menjadi Rp43 triliun, penebalan perlindungan sosial dari tak teranggarkan menjadi Rp18,6 triliun.
Perubahan postur APBN itu, seperti disampaikan Menteri Keuangan, untuk mengakomodasi kenaikan belanja negara, terutama yang terkait dengan subsidi energi dan perlindungan sosial yang disulut kenaikan harga minyak. Adapun, anggaran perlindungan sosial pada tahun ini mendapatkan tambahan senilai Rp18,6 triliun, subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan liquid petroleum gas (LPG) Rp74,9 triliun, dan subsidi listrik Rp3 triliun.
Otoritas fiskal juga menaikkan Indonesian Crude Price (ICP) dari USD63 per barel menjadi USD95— USD105/barel. Dengan kenaikan subsidi energi, pemerintah dan DPR sepakat untuk tidak menaikkan harga elpiji 3 kg, harga BBM bersubsidi, dan tarif listrik di bawah 3.000 VA dilakukan demi melindungi daya beli masyarakat, menjaga pemulihan ekonomi nasional, serta menyelamatkan keuangan Pertamina dan PLN yang tengah mengalami krisis arus kas akibat mendapat penugasan pemerintah.
Artinya, pemerintah harus mengalokasikan anggaran subsidi BBM dan elpiji 3kg jadi Rp149,4 triliun dari semula Rp77,5 triliun menjadi Rp149,4 triliun, atau bertambah Rp71,8 trliun, serta anggaran subsidi listrik yang naik dari Rp56,5 triliun menjadi Rp59,6 triliun.
Sejalan dengan itu, anggaran kompensasi BBM bersubsidi untuk Pertamina naik dari Rp18,5 triliun menjadi Rp234,6 triliun, meliputi subsidi solar yang meningkat dari Rp18,5 triliun menjadi Rp98,5 triliun, serta subsidi Pertalite sebesar Rp114,7 trliun. Sementara itu, PLN mendapatkan kompensasi yang disetujui sebesar Rp21,4 triliun.
Adanya kesepakatan Banggar DPR dan pemerintah tentu patut disyukuri. Pasalnya, semua itu tentu berujung untuk kepentingan masyarakat sehingga tidak terbebani dengan kenaikan harga BBM dan listrik lagi. “Dengan demikian, kenaikan harga energi bisa dicegah.”
Namun, Sri Mulyani menambahkan, tingkat inflasi pada tahun ini berpotensi menanjak sehingga berisiko menimbulkan distorsi di pasar keuangan. “Untuk itu kami melihat 2022 dengan kecenderungan inflasi dan kami harus menjaga APBN secara hati-hati,” katanya.*