Oleh: Rika Yuristia Mardhiyah* dan Ulivia Tejo Saputri**
Disrupsi telah dan sedang terjadi pada industri pers dan dunia jurnalistik. Keadaan ini merupakan akibat dari terjadinya migrasi besar-besaran media cetak menuju media dengan platform digital. Berkembangnya budaya free online menempatkan karya jurnalistik sebagai “milik bersama” yang sangat mudah diakses. Fenomena tersebut memberi keuntungan bagi pengguna platform digital yang memanfaatkan dan memonetisasi konten jurnalistik dari pihak lain secara cuma-cuma. Jurnalis dan kantor berita dipaksa dan terpaksa menampilkan karya jurnalistiknya melalui media daring.
Algoritma internet merupakan sebuah tools yang umumnya digunakan oleh media daring untuk meningkatkan engagement karya jurnalistik yang dibuat. Artinya, pemanfaatan algoritma digital membuat karya jurnalistik yang semakin banyak diakses, disukai, dan dikomentari, menjadi semakin tinggi volume sebarannya. Dengan meningkatnya engagement dari suatu karya jurnalistik, media daring dapat memperoleh lebih banyak keuntungan termasuk melalui tarif internet dan pemanfaatan iklan digital atau yang dikenal dengan adsense.
Kondisi di atas menimbulkan kerugian bagi jurnalis dan kantor berita. Pada saat seorang pencari berita melakukan pencarian menggunakan platform digital, ia dapat menemukan puluhan bahkan ratusan karya jurnalistik pada media massa daring. Namun yang akan memperoleh keuntungan ekonomi (adsense) adalah penyedia platform digital dan bukan bagi jurnalis atau industri pers, yang sesungguhnya memiliki hak moral dan ekonomi dari karya yang dihasilkan.
Terkait dengan kondisi di atas, berdasarkan data yang ada, terdapat sejumlah media pers cetak tidak mampu bersaing dengan media pers daring. Dewan Pers pada tahun 2020 memperkirakan jumlah media pers sebanyak 47.000 yang terdiri dari 43.300 media daring, 2.000 media cetak, 674 media radio, dan 523 media televisi. Dari keseluruhan media pers tersebut, terdapat 95 persen pengaduan pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh media daring. Praktik monetisasi konten pihak lain menjadi isu utama yang dihadapi media cetak dan telah menyebabkan ketidakadilan, yakni keuntungan yang didapat media daring jauh lebih besar daripada keuntungan media cetak.
Gagasan Perlindungan
Terhadap kondisi ini, Dewan Pers menggagas perlindungan bagi industri pers dan dunia jurnalistik melalui perlindungan publishers’ rights. Konsep perlindungan tersebut adalah: (i) penyelenggaraan sistem elektronik harus menjamin pemberian kompensasi layak bagi para pelaku industri pers; (ii) pengelolaan serta penayangan berita wajib dilakukan dengan tetap memenuhi kebutuhan publik terhadap informasi yang akurat, aktual, serta berkualitas tinggi; dan (iii) kewajiban pelaku industri pers melakukan koordinasi dengan pengelola platform digital untuk mendukung adaptasi pelaku industri pers dengan perkembangan teknologi dan industri digital.
Beberapa negara telah memiliki pengaturan khusus mengenai publishers’ rights antara lain Jerman, Prancis, dan Australia. Sementara Amerika Serikat dan Kanada sedang melakukan pembahasan terkait regulasi tersebut. Sebagai contoh penerapan, Australia memiliki regulasi News Media and Digital Platforms Mandatory Bargaining Code yang memberikan pengaturan kepada platform digital seperti Google dan Facebook untuk membayar kepada perusahaan pers atas konten berita yang diunggah pada laman mereka. Regulasi ini dimaksudkan untuk membantu penyedia berita memperoleh penghasilan dengan mewajibkan penyedia platform digital seperti Google dan Facebook untuk membayar penggunaan konten penyedia berita.
Langkah-langkah Perlindungan
Langkah-langkah pemerintah untuk menjaga keberlangsungan industri pers dan dunia jurnalistik tampak pada pernyataan Presiden dalam beberapa forum, yakni perlu regulasi untuk melindungi publishers’ rights di Indonesia agar manfaat ekonomi bisa dinikmati secara berimbang antara media konvensional dengan platform digital.
Pengaturan yang proporsional dan wacana pemberian kompensasi kepada industri pers dimaksud tentunya dengan memperhatikan pula perspektif independensi pers yang memiliki fungsi kontrol, yakni pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
Mengenai instrumen hukum yang tepat untuk pengaturan publishers’ rights di Indonesia, beberapa alternatif yang dapat ditempuh adalah: (i) membentuk Undang-Undang dengan materi muatan minimal meliputi pemenuhan kebutuhan hukum para jurnalis dan kantor berita seperti standar konten, ekosistem usaha, serta standar negosiasi antara industri pers dengan platform digital, dan sekaligus mengharmonisasikan materi terkait dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers; (ii) melakukan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yang memasukkan pengaturan mengenai publishers’ rights; atau (iii) mendorong pengaturan tersendiri mengenai publishers’ rights dengan instrumen Peraturan Presiden.
Di samping upaya pemerintah melalui kebijakan untuk membentuk regulasi yang melindungi publishers’ rights di Indonesia, mestinya insan pers juga harus bekerja keras membangun kualitas diri, berinovasi, dan beradaptasi dengan era digital sehingga dapat tetap berperan serta memberikan sumbangsihnya untuk menjadikan Indonesia dan dunia yang lebih baik.
—-
*Kepala Subbidang Komunikasi Publik, pada Kedeputian Bidang Polhukam, Setkab
**Analis Polhukam pada Subbidang Komunikasi Publi, Kedeputian Bidang Polhukam, Setkab