Mulak Sihotang yang berprofesi sebagai supir angkot dan akademisi, mengajukan pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Akan tetapi pada bagian kedudukan hukum, Mulak Sihotang (Pemohon) tidak dapat menguraikan dengan jelas hak konstitusionalnya yang dirugikan akibat pembentukan norma tersebut. Uraian pada bagian kedudukan hukumnya pun hanya memuat sejumlah argumentasi yang tidak relevan dengan anggapan kerugian konstitusional, baik aktual atau potensial bagi kerugian Pemohon.
Hal tersebut disampaikan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 47/PUU-XX/2022 dalam sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto, pada Selasa (31/5/2022) secara daring dari Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih lanjut Enny menyebutkan, pada bagian alasan permohonan, Pemohon tidak pula menguraikan dengan jelas dan rinci tentang konstitusionalitas proses pembentukan UU a quo yang dianggap tidak memenuhi persyaratan formil pembentukannya. Lagi-lagi Pemohon hanya menguraikan hal-hal yang menurutnya dapat dipertimbangkan dalam proses pembentukan suatu undang-undang termasuk UU IKN ini.
“Hal itu menurut Mahkamah, tidak relevan untuk dijadikan argumentasi dalam mempersoalkan proses pembentukan UU IKN,” ucap Enny.
Alhasil, dalam amar putusan Mahkamah menyatakan permohonan Mulak Sihotang tidak dapat diterima. “Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Aswanto membacakan amar putusan.
Kerugian Advokat
Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan hukum Putusan Nomor 48/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Permohonan ini diajukan oleh Damai Hari Lubis yang berprofesi sebagai advokat. Mahkamah dalam amar putusan menyatakan permohonan Damai Hari Lubis tidak dapat diterima.
Menurut Mahkamah, pada bagian kedudukan hukum Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas dalam proses pembentukan UU IKN tersebut. Pada uraian kedudukan hukum, Pemohon hanya menjelaskan kerugiannya sebagai advokat yang memiliki hak untuk melakukan monitoring atas setiap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Dengan berpindahnya ibu kota negara yang letak geografisnya sangat jauh dari kehidupan masyarakat perkotaan yang modern sangat dimungkinkan sulitnya mengakses informasi. Oleh karenanya segala kebijakan yang akan diambil dalam mengelola pemerintahan nantinya tidak bersifat terbuka. Kerugian demikian menurut Mahkamah, tidak relevan untuk dijadikan alasan dalam proses pembentukan sebuah undang-undang yang menjelaskan kedudukan hukum.
“Karena uraian tersebut tidak menjelaskan adanya keterkaitan mengenai kerugian pembentukan undang-undang a quo dengan anggapan kerugian Pemohon, baik secara aktual maupun potensial Mahkamah berpendapat tidak terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon,” kata Arief.
Pasal Pengujian
Berikutnya berkenaan dengan argumentasi Pemohon akan adanya perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana UU IKN yang semestinya menjadi materi muatan undang-undang, Mahkamah mendapati bahwa Pemohon dalam positanya tidak menyebutkan pasal-pasal yang diujikan dari undang-undang a quo. Selain itu, Arief menyebutkan berhubungan dengan argumentasi atas minimnya partisipasi masyarakat, Pemohon juga tidak menguraikan lebih lanjut mengenai uraian pihak-pihak yang telah didengarkan pendapatnya pada proses pembentukan undang-undang tersebut. Sehingga menurut Mahkamah, posita yang demikian menjadi tidak relevan bagi Mahkamah untuk menilainya. Oleh karena itu, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, secara keseluruhan permohonan Pemohon menjadi tidak jelas (kabur).
“Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut, Mahkamah berkesimpulan, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; Permohonan Pemohon diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil; Permohonan Pemohon tidak jelas (kabur); Kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut,” ucap Wakil Ketua MK Aswanto membacakan konklusi putusan perkara a quo.
Sebagai informasi, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 47/PUU-XX/2022 yang digelar di MK pada Selasa (19/4/2022) Mulak Sihotang (Pemohon) mendalilkan pembentukan UU IKN sejak mulai dari perencanaan, penyusunan, pengesahan, atau penetapan harus bersifat transparan dan terbuka serta melibatkan partisipasi masyarakat. Pemohon mendapati beberapa prosedur yang dilanggar dalam proses pembentukan UU IKN, yakni UU Penataan Tata Ruang Nomor 7 Tahun 2007, Perda Nomor 10 Tahun 2004 tentang Rencana Induk Tata Ruang Provinsi Kalimantan Timur, dan Perda Nomor 12 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Akibat dilanggarnya peraturan perundang-undangan tersebut berakibat pada cacat formil dari UU IKN.
Di samping itu, menurut Pemohon jika melalui prosedur yang benar, seharusnya rencana induk tata ruang provinsi Kalimantan Timur direvisi terlebih dahulu agar didapatkan rekomendasi untuk pembuatan master plan Ibu Kota Nusantara. Sehingga ketika pindahnya Ibu Kota Negara diharapkan mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemerintah setempat dan tidak memindahkan secara serta-merta begitu saja.
Sementara Pemohon perkara Nomor 48/PUU-XX/2022, Damai Hari Lubis melalui kuasa hukumnya, Arvid Martdwisaktyo selaku kuasa hukum Pemohon mendalilkan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam UU IKN hanya butuh 42 hari dan pembentukannya tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan. Dari Dokumen Perencanaan Pembangunan, Perencanaan Regulasi, Perencanaan Keuangan Negara dan Pelaksanaan Pembangunan. Hal ini karena rencana perpindahan Ibu Kota Negara tidak pernah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Undang-Undang No. 39/2008 tentang Kementerian Negara dan tidak tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019.
“Ibu Kota Negara mendadak muncul dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Namun meskipun demikian, anggaran Ibu Kota Negara tidak pernah ditemukan dalam Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, 2021 dan 2022,” ujar Arvid dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan di MK pada Selasa (19/4/2022). *