Hakim Konstitusi Wahiduddinuddin Jelaskan Tafsir “Keadilan Sosial” dalam Pancasila

Hakim Konstitusi Wahiduddinuddin Adams menjadi pembicara kunci dengan pokok bahasan “Tafsir Keadilan Sosial dalam Pancasila” pada kegiatan Pelatihan Dasar Kader Paralegal bertema “Internalisasi Pancasila dan Pro-Justitia dalam Advokasi Masyarakat”. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan dan Bantuan Hukum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, pada Sabtu (11/6/2022).

Dalam kegiatan tersebut, Wahiduddinuddin yang hadir secara daring menyampaikan keadilan  terdapat dalam dasar Pancasila. Menurutnya, keadilan sebagai tujuan berhukum untuk keadilan, kepastian dam kemanfaatan. “Semua aspek kehidupan terdapat asas manfaat. Pandangan-pandangan mengenai keadilan, kepastian dan kemanfaatan ini,” ujarnya.

Wahiduddin juga mengatakan para filsuf menyampaikan pendapatnya mengenai “keadilan” sehingga dikonstruksikan sebagai “teori keadilan”. “Di Barat ada nama Immanuel Kant hingga John Rawls yang mengutarakan teori keadilan; Di Timur, para filsuf seperti Kong Hu Cu (Confucius), sementara dalam Islam, para ulama juga menafsirkan kosep “keadilan” berdasarkan Qur’an dan Sunnah,” urainya.

Selain itu, Wahiduddin menegaskan, beragam teori keadilan pun dilekatkan berdasarkan tematik, misalnya teori etis dengan pendekatan moral dan teori utilitas dengan pendekatan jumlah. Konsep mengenai keadilan juga dikaitkan dengan tematik teori hukum.

Dikatakan Wahiduddin, keadilan sosial juga sebagai cita hukum Indonesia. Pendekatan sistematis dalam UUD 1945 tertuang dalam konsep “keadilan sosial” dikaitkan dengan pengaturan mengenai “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial” yang terdapat dalam Bab XIV – Pasal 33 dan 34 UUD 1945. Menurutnya, pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi).

“Jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”  dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan.

“Perkataan ‘dikuasai oleh negara’ haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya’, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud,” ujar Wahiduddin.

Wahiduddin juga menegaskan rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kesejahteraan Sosial

Sedangkan terkait kesejahteraan sosial terdapat dalam Pasal 34 UUD 1945 mengenai tafsir atas penyelenggaraan sistem jaminan sosial tercantum dalam Putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005 mengenai pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Secara historis, Wahiduddin melanjutkan, cita negara yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, tidak terlepas dari arus utama pemikiran yang berkembang pada saat UUD 1945 disusun. Pemikiran tersebut, yakni pemikiran yang dikenal sebagai paham negara kesejahteraan yang mewajibkan negara bertanggungjawab dalam urusan kesejahteraan rakyatnya, yang antara lain di dalamnya termasuk fungsi negara untuk mengembangkan jaminan sosial bagi rakyatnya.

Dengan demikian, terminologi “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam hubungannya dengan paham negara kesejahteraan, sesungguhnya lebih menunjuk kepada pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara bagi rakyat atau warga negaranya. Sehingga, fungsi tersebut merupakan bagian dari fungsi-fungsi pemegang kekuasaan pemerintahan negara menurut UUD 1945.  Agar fungsi dimaksud dapat berjalan, maka pemegang kekuasaan pemerintahan negara membutuhkan wewenang.

Menurut UUD 1945, Wahiduddin menyebut, kekuasaan pemerintahan negara dilaksanakan oleh Pemerintah (Pusat) dan Pemerintahan Daerah, sehingga pada Pemerintahan Daerah pun melekat pula fungsi pelayanan sosial dimaksud. Dengan demikian, Pemerintahan Daerah juga memiliki wewenang guna melaksanakan fungsi dimaksud. Ia juga menjelaskan, pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagian dari pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara yang kewenangan untuk menyelenggarakannya berada di tangan pemegang kekuasaan pemerintahan negara bukan hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah. Oleh sebab itu, UU SJSN tidak boleh menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut juga mengembangkan sistem jaminan sosial.*

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Rapat dengan Menteri Investasi, Nevi Zuariana Pertanyakan Investasi untuk IKN

Next Article

Seorang Mahasiswa Magister UGM Uji Formil UU Provinsi Sulawesi Utara

Related Posts