Pemerintah resmi memberlakukan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi perdagangan aset kripto dan penyelenggaraan teknologi finansial (fintech). Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Komarudin menegaskan pengenaan pajak tersebut harus perhatikan kepentingan bersama.
“Upaya ekstensifikasi pajak di sektor digital ini tentunya bisa semakin menggenjot penerimaan negara. Apalagi selama ini tren transaksi dan penggunanya juga terus meningkat. Dengan begitu, penerapan pajak ini bisa menciptakan playing field yang setara dengan instrumen lainnya. Selain itu, adanya ketentuan ini juga semakin memperkuat legitimasi transaksi kripto. Sehingga, bisa semakin memperkuat keyakinan investor,” urai Puteri dalam keterangan pers yang diterima Parlementaria, Selasa (12/4/2022).
Namun, Puteri juga menegaskan bahwa pengenaan pajak tersebut juga harus mempertimbangkan kepentingan industri. Tujuannya untuk memastikan agar aset kripto tetap menarik dan berdaya saing. “Harus seimbang antara aspek penerimaan dengan kepentingan menjaga iklim usaha perdagangan kripto,” kata politisi Partai Golkar itu.
“Karenanya, beban pajak ini harus dipastikan tidak memberatkan bagi investor maupun pedagang yang dikhawatirkan bisa kabur ke pasar internasional untuk mengurangi beban transaksi. Bahkan, dapat berdampak mengurangi minat transaksi kripto dalam negeri. Untuk itu, ke depan pemerintah juga perlu mengevaluasi sejauh mana dampak pengenaan pajak ini pada penurunan potensi dan minat investor,” sambung Puteri.
Sebagai informasi, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 yang menetapkan besaran tarif PPN atas penyerahan aset kripto sebesar 0,11 persen dikali nilai transaksi aset kripto apabila melakukan transaksi pada platform yang terdaftar Bappebti. Lalu, apabila transaksi dilakukan pada platform yang tidak terdaftar di Bappebti, maka dikenakan tarif PPN sebesar 0,22 persen.
Kemudian, atas penghasilan sehubungan dengan aset kripto, pemerintah menetapkan besaran tarif PPh Final Pasal 22 sebesar 0,1 persen dari nilai transaksi, tidak termasuk PPN dan PPnBM, apabila transaksi dilakukan pada platform yang terdaftar di Bappebti. Sedangkan, apabila transaksi dilakukan pada tidak terdaftar di Bappebti akan dikenakan tarif PPh Final Pasal 22 sebesar 0,2 persen dari nilai transaksi.
“Sebelum ketentuan ini berlaku, saya harap pemerintah terus memberikan edukasi dan sosialisasi terkait berbagai ketentuan teknis yang termuat dalam PMK ini kepada publik, khususnya pelaku industri dan investor. Sehingga, masyarakat bisa memahami hak dan kewajibannya atas investasi yang dilakukan,” ujar Puteri.
Pengenaan PPN dan PPh atas Penyelenggaraan Fintech Lebih lanjut, pemerintah juga mengatur ketentuan perpajakan dalam industri fintech. Sesuai PMK Nomor 69 Tahun 2022, pemberi pinjaman dalam platform pinjaman online dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 15 persen dari jumlah bruto atas bunga, apabila wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Sedangkan, apabila wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap, pemberi pinjaman dikenakan PPh Pasal 26 sebesar 20 persen dari jumlah bruto atas bunga.
Selain itu, ketentuan ini juga mengatur pengenaan PPN atas penyerahan jasa penyelenggaraan teknologi finansial oleh pengusaha, seperti Uang Elektronik dan Dompet Elektronik. Besaran tarif PPN tersebut adalah 11 persen. Menutup keterangannya, Puteri pun berharap pemerintah bersama otoritas terkait terus meningkatkan aspek perlindungan konsumen, apalagi sekarang investor juga berkontribusi dalam pembayaran pajak.
“Jaminan perlindungan konsumen harus diutamakan. Misalnya, dengan segera mempercepat pembentukan bursa aset kripto. Agar transaksinya, termasuk pengaturan pajak, lebih akuntabel dan efisien. Tak hanya itu, upaya penindakan terhadap pinjol ilegal dan aset kripto ilegal juga harus ditingkatkan. Tujuannya agar menciptakan ekosistem fintech dan kripto yang aman dan produktif,” tutup Puteri. *