Enny Nurbaningsih Bahas Dinamika Pemilihan Kepala Daerah

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjadi pemateri pada Studium Generale Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (FH Unisma) bertema “Problematika Penunjukan Pejabat Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Pilkada Serentak 2024” pada Jumat (3/6/2022).

Enny memaparkan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dalam lintasan sejarah. Menilik sejarah perkembangan ketatanegaraan sejak Indonesia merdeka, kata Enny, mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dilakukan melalui pengangkatan, bukan dalam konteks pemilihan yang demokratis.

“Sampai kemudian di awal-awal reformasi, kita sedang mengalami sebuah fluktuasi untuk menentukan mana yang paling tepat dalam pengisian jabatan kepala daerah. Ini bisa kita lihat dalam tahun 1974 ketika digunakan UU 5/1974 yang paling lama. Pengisian jabatan kepala daerah lazimnya, kalau kita ikuti ketentuan yang ada, melalui mekanisme pengangkatan,” kata Enny.

Kenapa mekanisme pengangkatan itu terjadi? Enny menjelaskan, karena calon-calon kepala daerah yang akan diajukan, lewat nominasi oleh fraksi di DPRD, tetapi tidak bisa menentukan siapa yang definitif kemudian ditentukan sebagai kepala daerah.

“Semua itu ditentukan secara berjenjang sampai ke tingkat yang lebih tinggi yaitu Menteri Dalam Negeri, dalam rangka melaksanakan amanah dari Presiden, sampai kepada Gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat dari daerah. Nominasi boleh disampaikan oleh DPRD, tetapi penentuan definitifnya oleh pemerintah pusat,” terang Enny.

Hal tersebut jelas Enny, merupakan gambaran sistem pemerintahan daerah yang sangat sentralistik. Tidak ada ruang untuk berdemokrasi. Bahkan penyelenggara pemilu pada waktu itu tidak seperti KPU sekarang.

“KPU-nya bukan KPU yang merdeka, independen seperti sekarang. Namun KPU-nya adalah bagian dari Kementerian Dalam Negeri. KPU kala itu lebih kepada tindakan administratifnya ketimbang substantifnya. Pemilu kita pada waktu itu tidak perlu ada quick count. Kalau kita lihat sejarahnya, belum ada hasilnya, sudah bisa ditebak siapa yang akan jadi pemenang pemilu,” papar Enny yang juga menerangkan bahwa kebanyakan yang mengisi jabatan sebagai gubernur, bupati, walikota, kala itu adalah mantan Pangdam atau dari TNI.

Masa Reformasi

Saat memasuki masa reformasi, lanjut Enny, ada tuntutan untuk melakukan penguatan mekanisme yang demokratis dalam penyelenggaraan ketatanegaraan kita. Kemudian lahir UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang menyebutkan pengisian jabatan kepala daerah berada di tangan DPRD, mulai dari pengusulan calon sampai dengan penetapan siapa yang akan menjadi kepala daerah definitif. Namun hal itu juga menimbulkan problem karena transaksional yang terlokalisir tidak bisa dihindarkan dan menimbulkan polarisasi politik yang sangat kuat dalam lingkungan parlemen daerah.

“Ditambah lagi, pertanggungjawaban yang harus dilakukan kepala daerah kepada DPRD, itu juga menimbulkan banyak persoalan karena pertanggungjawaban tahunan, pertanggungjawaban dalam keadaan tertentu, pertanggungjawaban pada akhir tahun anggaran, itu juga penuh dengan transaksional yang luar biasa,” jelas Enny.

Hal itulah, sambung Enny, yang kemudian memunculkan tantangan. Karena pada saat berhasil dilakukan Pemilihan Presiden secara langsung, kemudian muncul gagasan kalau pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Tujuannya, kata Enny, untuk mengurangi derajat transaksionalnya. Namun ketika pertama kali dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung, terjadi suatu kondisi pengotakan di satu wilayah menjadi sangat kental, karena tidak lepas dari kondisi transaksional pengisian jabatan kepala daerah.

Desain Pilkada

Saat ini, pengisian jabatan kepala daerah di Indonesia dilakukan secara langsung. Di sinilah dibutuhkan peran KPU dan Bawaslu yang luar biasa agar pengisian jabatan kepala daerah secara langsung dapat berjalan secara demokratis. Karena bagaimanapun juga, MK telah memutus bahwa pengisian jabatan kepala daerah dilakukan secara demokratis.

Desain pilkada secara demokratis merupakan amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

Lalu bagimana pendapat MK mengenai pemilihan secara demokratis? Terhadap hal tersebut, MK memberikan penafsiran yang tertuang dalam Putusan MK No. 072-073/PUU-11/2004 yang menyebutkan, “… Mahkamah berpendapat bahwa untuk melaksanakan ketentuan tersebut adalah kewenangan pembuat undang-undang untuk memilih cara pemilihan langsung atau cara-cara demokratis lainnya. Karena UUD 1945 telah menetapkan pilkada secara demokratis, maka baik pemilihan langsung maupun cara lain tersebut harus berpedoman pada asas-asas pemilu yang berlaku secara umum”. *

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Daniel Yusmic Paparkan Hukum Acara MK di UKAW

Next Article

Ada 12 Ribu Sertifikat Tanah Milik Masyarakat Sumut Diberikan ke Penerima Fiktif

Related Posts